CIRI KHAS PALEMBANG
Senapan Budiono dan Zulkhair Ali, sama-sama mengakui, pendatang yang masuk ke Kota Palembang, tidak menemukan ‘sesuatu’ yang mencirikan Palembang. Seperti gapura dengan sentuhan khas Palembang atau sesuatu hal lain yang bisa membuat pendatang merasakan suasana tersendiri tentang Palembang.
“Semua sudah serba modern, tak ada ciri khas, kalah dengan Lampung,” kata Budiono.
Terkait soal budaya dan kekhasan Kota Palembang, Budiono mempertanyakan dasar pemikiran menjadikan Palembang sebagai kota internasional. Dia mengkhawatirkan, tanpa menjadi kota internasional pun, budaya-budaya Palembang sudah tergerus zaman karena tidak ada upaya pelestarian.
“Apalagi kalau Palembang menjadi kota internasional, bisa-bisa semua budaya luar masuk, budaya Palembang hilang. Palembang boleh menjadi kota internasional asalkan Pemko Palembang terlebih dahulu menggali dan mengakomodir budaya lokal,” kata Budiono.
Dia juga mengkritisi perkembangan pembangunan ruko yang sangat marak di Palembang. Sampai-sampai kota ini lebih dikenal sebagai kota ruko. Namun Budiono menilai, ruko-ruko di Palembang tidak memperhatikan nilai estetika, salah satunya tidak ada keseragaman baik dari motif maupun letak.
Dia menjelaskan, bangunan yang didirikan di tepi jalan harusnya mematuhi aturan garis sepadan bangunan dan tidak boleh melewati gari sepadan jalan. Nyatanya, ruko di tepi jalan dibangun sesuka hati sehingga posisinya sangat tidak rapi, ada yang sangat dekat sekali dengan badan jalan dan ada yang jauh dari jalan.
“Sangat tidak ada estetika. Padahal itu ada aturannya, lagi-lagi penegakan aturan, jika itu diikuti tidak ada banjir atau genangan karena drainase tidak terganggu,” katanya.
Penilaian serupa disampaikan Zulkhair Ali. Dia menilai, prioritas Pemko Palembang terhadap budaya tergolong rendah. Hal ini diperparah dengan masih kurangnya pendanaan.
Zulkhair sendiri sangat menyayangkan tidak terangkatnya potensi budaya Palembang, mengingat kota ini dulu merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam. “Dan satu hal perlu diingat, dalam sejarah kita adalah pusatnya, asal usulnya bangsa Melayu,” kata dia.
Upaya untuk mengangkat bidang budaya juga dinilai tidak serius. Seperti pembangunan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS), yang menurut Zulkhair, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan saat mendengar nama TPKS. Kenyataan seperti ini menghadirkan kesan pembangunan TPKS hanya proyek belaka.
“Bayangan kita di sana bisa menemukan suasana dan peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya. Nyatanya, bangunannya dibuat modern, tidak ada ciri khas Kerajaan Sriwijaya, semua serba minimalis,” kata dia.
Zulkhair juga mengulas kegiatan berkesenian di Palembang yang tidak begitu semarak. Pementasan seni tradisional khas Palembang juga jarang dilakukan, apalagi harapan untuk memiliki gedung teater seperti di Singapura. Kesenian Bangsawan yang dinilai cukup apik untuk dijadikan hiburan pun, menurut Zulkhair, masih kurang diminati masyarakat.
“Kemarin itu Bangsawan tampil, yang nonton cuma 20 orang termasuk saya, yang lainnya keluarga pemain. Padahal itu diliput televisi lho,” kata Zulkhair.
Dari gambaran yang dipaparkannya, Zulkhair mengatakan, untuk menjaga eksistensi dan kelestarian budaya, dibutuhkan dukungan pemimpin di pemerintahan. Pemimpin tersebut tidak harus sosok yang gila seni atau gila budaya, namun seseorang yang bisa mengakomodir seni dan budaya.
Sedangkan Yandes Effriiady yang pernah ikut merumuskan konsep Palembang Kota Internasional, menjelaskan, budaya bukan benda mati tapi budaya merupakan nilai nilai yang ada pada masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
“Jadi kecelakaan kalau manusia mengaitkan budaya dengan sejarah, mengaitkan dengan benda purbakala, padahal nilai budaya saat itu yang dianggap nilai baik dan tidak baik, tinggal tergantung saat ini. Katakanlah manusia menemukan budaya megalitikum, apakah manusia kini akan mengadopsinya? Tentu tidak. Kita mengadopsi yang positif dan sesuai dengan kondisi sekarang,” katanya.
Yandes juga menjelaskan, terkait era pasar bebas, Palembang mau tidak mau, suka tidak suka, harus siap menjadi kota internasional bila tidak mau menjadi kota tertinggal. Dia pun tak menampik bakal derasnya kebudayaan luar yang masuk. Namun, Yandes berpendapat, tidak semua budaya luar itu jelek. “Jadi kita filter dulu, yang bagus kenapa tidak kita adopsi?” kata dia.
Sebagai kota internasional, lanjut Yandes, tidak sekadar sebutan internasional tetapi Palembang kota internasional yang sejahtera dan berbudaya 2013. “Palembang kota internasional suatu keniscayaan, keharusan yang harus diantisipasi sekarang. Kita harus siapkan, kalau tidak kita tertinggal,” katanya. /osk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar